Rabu, 23 Maret 2011

Penjaga Taman Sastra Indonesia

Penjaga Taman Sastra Indonesia



Jakarta, 14 Januari 1964 Saudara Pram,

Surat Saudara tanggal 28 Desember 1963 yang panjang 12 halaman telah saya baca dengan sabar dan tenang. Saya berdoa semoga Saudara kembali waras dan penyakit Saudara tidak berlarut-larut hingga jiwa Saudara tidak tertolong lagi.

Sesuai dengan permintaan Saudara, bersama ini 2 (dua) map berisi dokumen-dokumen yang Saudara minta simpan oleh saya tempo hari dan 1 (satu) kitab catatan kakek Saudara. Memoir Saudara tempo hari telah diambil kembali oleh Saudara melalui Hidajat Wikantasasmita dan Pier Santoso (tanggal 24 Januari 1962 dan 27 November 1963).

Harap Saudara terima dengan baik dan dalam keadaan tiada kurang suatu apa.



Selamat Tahun Baru buat seluruh keluarga.

Demikian surat yang ditulis H.B. Jassin kepada Pramoedya Ananta Toer pada suatu hari tahun 1964. Surat itu menyiratkan kejengkelan Jassin terhadap Pramoedya. Namun, kemarahan itu bisa dimaklumi. Saat itu keduanya tengah terlibat konflik yang terpicu karena Manifes Kebudayaan. Pram, bersama seniman Lekra lainnya, menganggap Jassin dan para penanda tangan manifes itu sebagai gerakan antirevolusi.

Politik bisa mengubah segalanya. Semula Pram menganggap Jassin sebagai sang guru. Namun, dalam perkembangan berikutnya, di mata Pram sosok guru itu lantas luntur. “Sebagai guru, dia gagal total karena ajarannya tidak mengangkat pembelaan manusia yang seharusnya ia lakukan,” kata Pram. Yang dimaksud Pram adalah sikap Jassin yang dianggap tidak membela kaum Tionghoa setelah peristiwa G30S meletus pada 1965.

Padahal, menengok ke belakang, Pramoedya Ananta Toer merupakan salah satu pengarang produktif yang lahir dari “tangan” Jassin. Ketika revolusi kemerdekaan meletus, saat itu Pramoedya, yang baru keluar dari bui, mengaku sering berdiskusi dan mempelajari karya-karya ataupun kritik Jassin. Saat itu, Pram menganggap Jassin sebagai guru.

Sepucuk surat yang ditulis H.B. Jassin kepada Pramoedya Ananta Toer yang tengah mendekam di dalam bui setengah abad silam bisa menjadi bukti. Dalam surat yang bertanggal 10 November 1949 itu, Jassin mengabarkan bahwa tiga buah cerita pendek milik Pram telah dimuat dalam majalah Mimbar Indonesia, yang dipimpinnya.

Di akhir suratnya, Jassin menulis sebaris kalimat simpatik:

Kapan Saudara keluar? Persetujuan sudah tercapai. RIS akan dibentuk 1 + bulan lagi. Kirimlah terus naskah-naskah lagi kalau ada. Bersama ini saya kirimkan juga 3 eksemplar Mimbar Indonesia yang memuat cerita-cerita pendek Saudara.

Betapapun, secarik kertas itu teramat berharga bagi sang penerima.

Kegiatan surat-menyurat itu hanyalah satu dari sekian ratus surat yang pernah ditulis dan dikirim H.B. Jassin kepada koleganya. Sepanjang hidupnya, di mana pun dia berada, tak terkecuali saat di luar negeri, Hans—demikian panggilan akrabnya—melakukan korespondensi. Kegiatan itu tak terbatas dilakukan dengan kalangan sastrawan, tapi juga wartawan, mahasiswa, atau orang awam. Seperti suratnya kepada Pramoedya, secara umum soal sastra kerap menjadi tema perbincangan mereka. Namun, bukan berarti soal-soal lain, misalnya kabar tentang keluarga dan hal-hal menarik lainnya, tidak menjadi bahan diskusi. Latar belakang dan kehidupan pengarang tentu merupakan hal penting buat Jassin dalam menulis kritik sastranya.

Surat-suratnya merupakan ajang pertukaran buah pikirannya dengan sastrawan lainnya. Melalui surat-suratnya, Jassin membahas karya sastra dan keadaan yang ikut mempengaruhi. Surat juga merupakan sarana buatnya dalam memburu karya-karya sastrawan yang belum dimilikinya. Hal itu tak hanya berlaku pada penulis senior, tapi juga penulis-penulis muda. Jassin sering kali meminta kembali naskah penulis pemula yang dicetak di majalah itu untuk disimpannya sebagai dokumentasi. “Data sastrawan terekam dengan baik sejak dia muda dan sebagai pemula,” kata Hamsad Rangkuti, Pemimpin Redaksi Horison. Jassin juga rajin dan tekun mengumpulkan kliping berbagai tulisan-tulisan yang berkait dengan kesusastraan.

Hasilnya? Ribuan lembar dokumentasi yang penuh—dan ditata dengan rapi—di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin di kompleks Taman Ismail Marzuki, Jakarta, menjadi saksi kegigihan dan ketabahannya dalam mengikuti perjalanan sastra Indonesia.

Lahir di Gorontalo pada 31 Juli 1917, Hans Bague Jassin—putra pasangan B.M. Jassin dan Habibah—memang sudah lekat dengan bacaan sejak kecil. Sang ayah secara langsung membentuk Jassin kecil menjadi seorang kutu buku. Untuk melatih kemampuannya membaca, Jassin kecil sering diminta untuk membacakan keras-keras koran berbahasa Belanda saat sang ayah beristirahat di siang hari.

Namun, Jassin bukanlah anak yang manis. Setelah mahir, sesekali ia sering mencuri kesempatan untuk membaca buku-buku milik ayahnya. Jamadi—nama kecil Jassin—melahap bacaan koleksi ayahnya, macam Roos van Batavia dan Melati van Agam. Bahkan, ia juga membaca buku-buku dewasa, termasuk serial Sexueel Zeden in Woord en Beeld, kitab yang mengupas tingkah laku seksual dalam kata dan gambar.

Saat duduk di kelas empat HIS, Jassin mulai bersentuhan dengan sastra. Roman karya Max Havelaar, Saijah dan Adinda, merupakan buku sastra yang pertama kali dibacanya. Walau belum bisa menangkap keindahannya, rangkaian cerita buku itu berhasil menerbitkan minatnya terhadap sastra. Saat itu pula ia mulai menulis puisi yang lahir karena kekagumannya terhadap teman wanitanya. Itulah penggalan awal yang kemudian menyeret Jassin ke dalam pusaran kesusastraan.

Beranjak remaja, Hans mulai berkenalan dengan sastra Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman saat ia duduk di bangku HBS Medan, pada 1933. Pada saat bersamaan, ia mulai terlarut dengan sastra karya negeri sendiri. Dari majalah sastra Pujangga Baroe, ia menemukan karya-karya Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, Armijn Pane, dan Sanusi Pane. Baginya, karya-karya sastrawan negerinya tak kalah dengan sastra Belanda.

Tujuh tahun kemudian, atas ajakan Sutan Takdir Alisjahbana, Jassin bergabung dengan Balai Pustaka. Di sana Hans bergabung dalam tim peresensi bersama dengan sastrawan yang terkenal saat itu. Mereka menilai karya sastra yang kemudian dimuat di beberapa majalah—pekerjaan yang amat dicintainya dan dilakukannya dengan sungguh-sungguh. Pekerjaan itu pula yang membuat Jassin memperoleh banyak pelajaran, termasuk saat harus “berkelahi” dalam menilai sebuah karya sastra.

Misalnya, saat Chairil Anwar menyerahkan sajaknya. Menurut Jassin, sajak-sajak yang ditulis Chairil pada Oktober 1942 itu layak dipublikasikan di Panji Pustaka, sementara menurut Armijn Pane, sajak Chairil terlalu menonjolkan individualisme penulisnya. Elemen kebaratan Chairil yang tampil jelas dalam sajaknya tidak tepat dimasyarakatkan saat itu. Satu hal yang bertentangan dengan slogan kebersamaan Asia Raya.

“Saya melihat pengaruh ekspresionisme dalam karyanya. Lihatlah baris-baris yang terdiri dari satu atau dua kata dalam sajak yang berjudul 1943: “Mengaum! Mengguruh!” kata Jassin. Bagi Jassin, sajak-sajak Chairil lahir dari sebuah proses pengendapan yang berlangsung matang, dan kematangan sajak itu dilalui berbagai pikiran dan perasaan.

Perjuangan itu berbuah hasil. Akhirnya, sajak Aku bisa dimuat di Panji Pustaka, dengan judul yang terpaksadiubah menjadi Semangat. Nama Chairil Anwar melejit bak meteor. Pada 1945, ketika Pantja Raja terbit menggantikan Panji Pustaka, sajak-sajak Chairil mulai bertaburan. Namanya semakin menjulang.

Tanpa disadari, Jassin telah memunculkan sosok dan pengaruh Chairil Anwar yang kuat dalam peta sastra Indonesia. Saat itulah dirinya mulai menjelma menjadi seorang kritikus sastra yang awas dan jeli. Selanjutnya, ia turut membesarkan nama-nama sastrawan muda.

Pengarang lain yang secara tidak langsung menjadi besar karena sentuhan Jassin adalah N.H. Dini. Sejak cerita pendeknya yang berjudul Pendurhaka dimuat di majalah Kisah, Dini dan Jassin berkomunikasi melalui surat-menyurat. Dari korespondensi itu, Dini sebagai pengarang muda memperoleh banyak pelajaran dari orang yang dianggap sebagai seniornya.

Jassin menjadi ikon dalam sastra Indonesia. Ia tak lagi sekadar kritikus semata, tetapi dengan otoritasnya menjadikan sosoknya menjelma menjadi orang yang memiliki pengaruh kuat, hingga di suatu masa, penulis Gayus Siagian menjulukinya sebagai “Paus Sastra Indonesia”. Julukan yang disampaikannya dalam simposium sastra pada 1955 itu sebetulnya bermaksud mengejek. Namun, yang terjadi berikutnya, sebutan itu diterima sebagai penghormatan. “Saya bukan Paus, Saya hanya seorang pelajar,” ujar Jassin menanggapi ledekan itu.

Julukan lain segera bermunculan. Penulis Balfas menyebut Jassin sebagai administrator sastra karena menurut Balfas, apa yang dilakukan Jassin semata hanya mengumpulkan dokumen dan buku-buku. Sedangkan sebagai kritik sastra, Jassin dianggap kurang memiliki gagasan.

Namun, julukan yang paling keras datang dari esais Rustandi Kartakusumah. Dia menyebut Jassin sebagai diktator sastra karena apa yang dikatakan Jassin selalu diterima orang, dan kepercayaan itu kemudian dipakai Jassin dalam menilai sastra.

“Saya tak tahu kenapa Rustandi, yang juga berusaha menulis sajak itu, harus berpendapat seperti itu. Yang saya tahu, saya memang tak selalu menyukai sajak-sajaknya,” kata Jassin.

Sosok Jassin akhirnya menjadi magnet bagi pengarang muda. Tak aneh bila banyak penulis muda mengirimkan naskah karangannya untuk sekadar dibaca Jassin, untuk meminta komentar Jassin terhadap tulisannya dan menerbitkannya dalam majalah. Bila Jassin tertarik dengan sebuah naskah, sang penulis pun diajak bertemu untuk berdiskusi.

Ini dilakukan kepada siapa pun, juga pengarang muda pemula. Buat mereka, mendapatkan perhatian dari “Paus Sastra” itu bisa saja berarti karir gemilang segera terbentang. Bila dianggap layak untuk diterbitkan, naskah itu bisa segera menjadi buku. Dan penerbit akan serta-merta menerima rekomendasi Jassin.

Namun, Jassin, yang memiliki akses yang luas ke pihak penerbit, pada suatu masa bahkan bisa menentukan karangan mana saja yang layak diterbitkan. Dengan “kekuasaan” yang dimilikinya itu, Jassin dapat ikut menentukan isi sebuah karya. Itu terjadi pada novel Pada Sebuah Kapal karya N.H. Dini, saat Dini mengirim naskah itu kepada Jassin karena Dini meminta dicarikan penerbit,

Jassin menyarankan agar bagian akhir, yakni tokoh Sri yang mengalami kecelakaan dahsyat dan meninggal, diganti. Jassin menganggap akhir cerita itu terjadi secara mendadak. Dia tidak menyukainya. Walau demikian, Jassin tetap memberikan naskah itu kepada Ajip Rosidi, Direktur Pustaka Jaya, yang memutuskan kata akhir apakah naskah itu layak diterbitkan atau tidak. Setelah membaca naskah itu, Ajip pun berkomentar sama. Dia tidak mau menerima akhir cerita seperti itu. Akhirnya, N.H. Dini mengalah. Ia mengikuti saran kedua orang itu. “Mungkin kalau hanya Jassin yang bilang dan Ajip tidak bilang, tidak akan saya ganti,” kata Dini kepada TEMPO (baca: Kejutan-Kejutan Jassin).

Perjalanan hidup Jassin, yang akrab dengan buku, ternyata akrab dengan berbagai kontroversi (baca: Kontroversi di Sekitar Jassin), dari kasus cerita pendek Langit Makin Mendung yang ditulis Ki Pandjikusmin yang menyeretnya ke meja hijau, kehebohan puitisasi Alquran, hingga debat Angkatan Sastra versi Jassin, yang banyak ditentang para sastrawan. Tetapi, itu semua dihadapinya dengan tabah dan tetap teguh dengan prinsip.

Kini, telah 40 hari Jassin berpulang. Dengus napasnya bersatu dengan debu dan lapuknya berbagai buku dan naskah sastra yang dikumpulkannya dengan tekun. Kecintaan dan kesetiaannya telah ikut menentukan arah dan bentuk sastra negeri ini. Dalam peringatan 40 hari wafatnya Jassin, Rabu pekan silam, masyarakat Gorontalo di Jakarta menggelarinya “Ta Lombuta Tootodu Wulito” atau putra terbaik Indonesia. Sebuah nama yang tepat bagi dirinya. (24 April 2000)



(Oleh Irfan Budiman, Dwi Wiyana, Ardi Bramantyo, Hadriani Pudjiarti di majalah.tempointeraktif.com dari sastra-indonesia.com)
Categories: , ,

0 komentar: