Kamis, 17 Maret 2011

Bahasa Manusia


Bahasa Manusia

Katanya manusia diberi kelebihan berbahasa. Katanya hanya manusia yang manyadari konsep waktu, kewujudan, asal, kematian. Tapi dengan banyaknya kata-kata, kenapa kemanusiawian malah semakin tertutup kelambu kepentingan?
“Saya…”

Monolog.
Gosip.
Perintah.
Fitnah.
Laporan.

Bising adalah resiko hidup dalam kepentingan. Sulitnya menemukan teman yang mau mendengar adalah alasan mendasar kenapa percakapan kita bising, bertalu-talu dan saling tiban. Tak ayal menyadari, saat kesempatan untuk bicara datang, setiap kalimat harus padat dengan segala kepentingan, sesingkat mungkin, sepenting-pentingnya.
Sebaliknya, resiko inheren dari hidup dalam pengasingan, sekaligus keuntungan tambahan darinya, adalah hilangnya kepentingan. Tapi sekuat apa kita menerima bahwa kita adalah manusia tak penting, yang hidupnya dilupakan, dan matinya tak ditangisi.

Makanya kita tetap bicara, biarpun bising, agar tetap dianggap penting.

“Para hadirin…”

Mengajar.
Ceramah.
Khotbah.
Pidato.
Doa.

Semakin banyak telinga yang dituju, semakin generik pula bahasa yang kita gunakan, semakin formal, kaku dan umum. Nyaris hilang individu yang berbicara di balik kemegahan bahasanya. Resiko inheren dari memukau massa, bukan?
Makanya mereka bicara, biarpun bising, agar tetap dianggap penting.

“Sayang…”
Di lain sisi, bahkan percakapan intim semakin generik dan hambar. Apa yang dibicarakan suami istri sebelum tidur? Apa yang dibisikkan orangtua ke anak mereka saat berpisah? Apa yang dipertukarkan para kekasih sebelum menutup percakapan larut malam?

“Take care. I love you. Good night.”
[Bahkan padanannya dalam bahasa sendiri saja tidak ada, karena terasa kaku dan tak wajar. Mungkin bahasa Indonesia adalah bahasa yang tak mengizinkan emosi menjadi generik, menjaga kesakralan emosional antara manusia.]
Apa mengulang kalimat di atas, saban pagi & malam, saban bertemu & berantem, tetap penting?
“PRIIIIT!!”
Ada kalimat yang diucapkan dalam bahasa apapun tetap memberi dampak emosionil yang sama. Kalimat yang diucapkan saat jengah di awal pertemuan, saat setan atau malaikat lewat, saat hening tiba di mobil dalam perjalanan panjang ke sana, lalu pulang.
“??? ??? – Tell us a story – Cerita dong.”


Saat itu, bahasa pun kembali manusiawi, individu kembali didengar massa, formalitas berpadupadan dengan bahasa sehari-hari.
Tanpa beban,
tanpa rikuh,
atau pamrih kesan.
“??? ?? ???? – Once upon a time – Alkisah, nun jauh di sana…”

Berceritalah, karena dalam dongeng ada kepentingan kita semua.

—————————
Catatankaki :
Bagaimana tidak pluralis, wong dalam semua bahasa, akhir cerita kita sama.


(Sumber: padeblogan.com)
Categories:

0 komentar: