Kita, yang gemar membaca ataumenulis fiksi, mungkin pernah merasa cemburu, kagum, atau heran, saat membaca sebuah tulisan bagus ?
Saking bagusnya, kita sampai berkesimpulan bahwa, menulis fiksipasti sejenis bakat bawaan lahir; alih-alih berkesimpulan hasil dari proses belajar/latihan.
Tapi saya memilih kesimpulan terakhir. Karena merasa tidak punya bakat menulis, saya lebih berusaha mempelajari bagaimana cara mereka bisa menulis sebagus itu.
Bila perhatikan, tulisan para penulis ‘berbakat’ itu cukup mudah dikenali. Beberapa pembaca menyebutnya sebagai ciri khas. Sadar atau tidak, yang dimaksud ciri khas itu tersusun oleh pola-pola tertentu, berulang. Kita hanya perlu ‘membaca dua kali’ untuk mengenalinya.
1.Miskin kosa kata = Miskin pembaca
Imajinasi butuh medium untuk terungkap. Itulah Kata. Menurut Gorys Keraf, semakin banyak kata yang dikuasai seseorang, semakin banyak pula gagasan/ide yang dikuasainya dan yang sanggup diungkapkannya. Penulis ‘berbakat’ kaya akan diksi (pilihan kata). Mereka mampu memilih kata yang tepat untuk mengungkapkan gagasan karena beragamnya pilihan kata –yang mereka tahu-.
Sulit menyukai tulisan yang terbangun dari kata-kata ‘pasaran’ (denotatif) saja. Kata ‘berjalan’ misalnya, ditangan penulis ‘berbakat’ dapat diberi tekanan emosional tertentu (konotatif), dengan kekayaan padanan kata yang diketahuinya; Mengendap-endap, berjinjit, melenggang, gontai, tersaruk-saruk,
2. Tajam mata itu tajam pena
Dalam Bilangan Fu, Ayu Utami begitu royal memakai istilah-istilah teknis rock climbing. Taruhan, ‘Bilangan Fu’ tidak akan sebagus itu seandainya Ayu Utami tidak ‘mengalami’’ sendiri pemanjatan tebing.
‘Mengalami’ berbeda dengan ‘memikirkan’. The Inheritance of Loss akan dipenuhi kalimat-kalimat tumpul, seandainya Kiran Desai tidak tajam ‘mengalami’ krisis identitas sebagai orang india.. Apa jadinya Middle Sex sekiranya Jeffery Eugenides tidak ‘mengalami’ dirinya sebagai orang Yunani di Detroit ? Booker prizetidak akan diberikan pada novel Too Kill The Mocking Bird seandainya Harper Lee hanya ‘berandai-andai’ sebagai orang Alabama.
Sebagai pembaca, saya sering menemukan tulisan bagus, dan saya tahu penulisnya hanya ‘memikirkan’ namun tidak ‘mengalami’ sendiri tulisannya. Tapi saya selalu menemukan nilai ‘lebih bagus’ pada tulisan berdasarkan pengalaman.
Pena yang tajam hampir pasti bersumber dari mata yang tajam. Fiksi bersumber dari imajinasi. Imajinasi bersumber dari pengalaman. Lihat bulan, lalu tulislah tentangnya. Kita akan kewalahan menerima serbuan imajinasi, tentang bulan, datang dari segala arah.
Bandingkan dengan usaha menulis tentang kuda, atau perahu pinisi, yang informasinya semata dari bacaan & tuturan orang. Hasilnya datar, kering, karena imajinasi kita datang dari sumber sekunder, Dorongan liar berimajinasi tersandera beban ‘takut salah’.
Dewi Lestari rela ‘mengalami’ jadi anak kost selama 60 hari saat menulis novel Perahu Kertas. Kupikir, ini adalah saran yang bagus dari Dee.
3. Membaca dulu, baru menulis
Saya curiga, penulis ‘berbakat’ itu lebih banyak membaca ketimbang menulis. Itu saran terbaik dari mereka. Kecuali ingin tulisan kita hanya di baca oleh diri kita sendiri.
Seperti kata cendekia; sebuah tulisan/buku pada dasarnya –hanya- bercerita tentang buku sebelumnya. Tentu saja tidak ada yang menyarankan meniru, atau menghalangi inovasi untuk menciptakan ‘hal baru’ (memang ada hal baru dibawah kolong langit ini ?).
Otak ibarat bank data. Bacaan mengisi saldo kita. Menulis butuh modal, yang tentu didebet dari rekening otak. Data-data yang terekam akan menstimulasi imajinasi. Bacaan memperkaya imajinasi, imajinasi memperkaya tulisan. Bacaan memperkaya korelasi, saat otak mampu menjangkau kesalinghubungan antara berbagai hal yang sepertinya tidak. Middle Sex kaya, hanya karena otak Jeffrey Eugenides kaya akan bacaan; Sejarah, medis, psikologi, ekonomi, budaya dan seni.
Ah, ketiga saran menulis fiksi diatas sebenarnya lebih ditujukan kepada diri saya sendiri.
sumber : internet