Senin, 29 Oktober 2012

Dialog Tentang Seni Komposisi


by Nur A

M.K = Milan Kundera

Terj: HM & NA

Wawancara ini berkenaan dengan strategi MK dalam menggarap komposisi novel2nya. Selain memperhatikan strategi2 khusus untuk tiap2 novelnya atau strategi Kundera secara umum (sebagai partikularitas), coba lihat bagaimana hukum komposisi atau the genius of compositionality bekerja.
----------------------------



C.S     : saya akan memulai diskusi ini dengan kutipan dari karya Anda Notes Inspired by The SleepWalkers. Anda mengatakan semua karya besar (yang benar-benar hebat) berisi sesuatu kegagalan. Broch adalah sebuah inspirasi bagi kita bukan hanya karena yang telah ia kerjakan tetapi juga karena apa yang ia maksudkan dan lepas dari tangan. Kegagalan dalam karyanya menunjukan kepada kita kebutuhan akan : (1) seni baru dari pembebasan yang radikal (yang mampu menampung kompleksitas eksistensi tanpa kehilangna kecerlangan arsitektonik); (2) seni baru iringan novelistik (novelistic counterpoint) (yang bisa mengocok filsafat, cerita, dan mimpi dalam satu alunan musik); (3) seni baru, khususnya  essei novelistik (yang tak mengakui melahirkan pesan apodiktik, namun sebaliknya menyatakan hipotesa-hipotesa, penuh semangat main-main, dan ironis). Tiga poin yang tampaknya membentuk proyek artistik anda. Mari kita mulai dengan yang pertama. Pembebasan radikal.

M.K: Tercakupnya kompleksitas eksistensi dalam dunia modern membutuhkan sebuah teknik paramasastra, kondensasi. Namun Anda terpuruk dalam anak tangga tak berujung. The Man Without Qualities adalah satu dari dua atau tiga novel yang sangat saya sukai, namun jangan meminta saya untuk memuji kehendak besarnya yang tak tertuntaskan. Bayangkan sebuah kastil yang begitu besar sampai-sampai tak bisa dilihat dalam sekali tatap. Bayankanlah sebuah kuartet yang bermain selama sembilan jam. Ada batas-batas antropologis—batas-batas memori, misalnya—yang tak terjangkau. Ketika Anda sampai pada akhir sebuah buku Anda mestinya masih dapat mengingat bagaimana awal kisahnya. Namun novel tersebut, justru bertolak belakang, ia hilang bentuk, kejelasan arsitektoniknya tertutup kabut.
C.S.: The Book of Laughter and Forgetting ditulis dalam tujuh bagian. Jika Anda menyuguhkan bagian-bagian itu tidak atau kurang ellipsis, Anda bisa menulis tujuh novel panjang secara terpisah.

M.K.: Tetapi jika saya menulis tujuh novel yang berbeda, saya tak akan mengharap  “percakapan mengenai kompleksitas eksistensi dalam dunia modern” dalam sebuah buku. Inilah mengapa saya pandang seni ellipsis sebagai sesuatu krusial. Mendesak . Sehingga kita secara langsung samapi pada jantung benda-benda. Dalam hal ini, saya teringat komposer yang saya kagumi dengan penuh gairah semenjak kecil: Leos Janacek. Ia adalah salah satu figur penting dalam musik modern. Suatu kali, waktu Schonberg dan Stravinsky masih menulis  karya-karyanya untuk orkstra penuh, ia telah merasakan jika skor-skor orkestal runtuh oleh not-not tak berguna. Cita-cita kebebasan itu adalah awal pemberontakannya. Anda tahu, banyak komposisi musik memasukan hal-hal bagus dari aktivitas  yang murni teknis: eksposisi tema, bangunan, variasi, pholiponik yang seringkali begitu mekanikal, mengisi orkestrasi, transisi dan sebagainya. Saat-saat ini musik dapat disusun dengan komputer, tetapi selalu ada semacam komputer dalam kepala-kepala komposer. Dalam satu cabikan, mereka dapat menulis sonata tanpa sebuah ide tunggal yang orisinil, hanya dengan mengikuti hukum-hukum sibernetik dalam sebuah komposisi. Seruan Janacek adalah: Hancurkan komputer! Sebuah penjajaran meskipun bertransisi, merepetisi, bervariasi dan selalu langsung menuju jantung benda-benda: hanya not yang menyatakan sesuatu yang esensial yan memiliki hak hidup. Kasarnya, ide yang sama berlaku terhadap novel; novel juga dibelenggu oleh hal-hal teksnis, oleh konvensi-konvensi yang menjalankan karya sang pengarang untuknya: menyajikan sebuah tokoh, menggambarkan lingkungan pergaulan, menaruh aksi-aksi dalam situasi historis, mengisikan waktu dalam kehidupan tokoh-tokoh dengan episode-episode tak berguna.; setiap kemunculan adegan membutuhkan eksposisi baru, deskripsi, eksplanasi. Himbauan saya sendiri adalah Janacekian: bersihkan otomatisme novel-novel teknis, novel-novel verbal; padatkan.

C.S: Yang kedua, Anda mengatakan “seni baru iringan novel”, di sana, Anda tidak sepenuhnya puas dengan karya-karya Broch.

M.K: Ambillah buku ketiga dari The Sleepwalker . ia tersusun atas lima garis tujuan yang berbeda-beda: (1) narasi novel yang mencakup tiga tokoh utama trilogi tersebut: Pasenow, Esch, Huguneau; ( 2) Cerpen Hanna Wendling; (3) reportase rumah sakit militer; (4) Narasi puitik (dan sebaliknya) mengenai gadis bala keselamatan; dan (5) esei filosofis (yang ditulis dengan bahasa teknis) mengenai disintegrasi nilai-nilai.  Masing-masing garis tersebut dengan sendirinya menakjubkan. Walaupun, mereka tetap dipegang secara bersamaan, dalam alternasi yang konstan (yaitu, dengan intensi poliponik yang jelas), garis-garis tersebut  tidak muncul bersama, tak membuat keseluruhan yang tak dapat dipisah-pisahkan; dengan kata lain, intensi poliponik secara artistik tetap tak terpenuhi.

C.S: Tidakkah aplikasi metaforik dari term poliponi pada sastra membuat sebuah novel tak pernah selesai.

M.K: Poliphoni dalam musik adalah presentasi beriringan dari dua suara atau lebih (lajur melodis) yang terkumpul sempurna namun masih memiliki kebebasan relatif. Dan poliphoni dalam novel? Pertama mari kita mengemukakan lawannya: komposisi unlinier. Kini, sejak pembukaan-pembukaannya, novel selalu berusaha menghapus ketaklinieran, untuk membuka celah dalam narasi yang berkesinambungan dalam cerita. Cervantes menceritakan kisah perjalanan Don Quisote, yang benar-benar linier. Tetapi sebagaimana ia mengembara, Quixote bertemu karakter-karakter lain yang menyatakan kisah-kisah mereka sendiri. Dalam  bagian pertama ada empat hal. Empat celah yang membolehkan kita melangkah keluar dari frame kerja linier novel tersebut.

C.S: Tetapi itu bukanlah poliphoni

M.K: Sebab memang tidak ada simultanitas di dalamnya. Meminjam terminologi Skhlovsky, cerita-cerita itu terkumpul dalam kotak novel. Kotak yang sama dapat Anda temukan di abad 17—18. Abad 19 telah menciptakan metode yang berbeda, berusaha keluar dari model linear. Metode yang –sebaiknya—kita sebut poliphonik. Novel The Possesed. Jika Anda menganalisanya dari sudut pandang yang murni teknikal, anda akan melihat jika The Posessed terdiri dari 3 alur yang berkembang secara bersamaan. Masing-masing jika diinginkan dapat menjadi novel yang berdiri sendiri; (1) novel ironi tentang percintaan antara Madame Stavrogin dan Stepan Verkhovensky; (2) Novel romantis mengenai persahabatannya yang berisi cinta; (3) novel politik mengenai sebuah kelompok revolusioner. Ketika semua tokohnya seling kenal satu sama lain. Teknik penceritaan yang subtil secara mudah mengikatnya menjadi satu entitas yang tak terpisah. Sekarang bandingkan poliphoni Dostoyevskian itu dengan Broch. Novel Broch melangkah lebih jauh. Sementara tiga alur The Posessed, merupakan genre yang sama (ketiganya novelistik), empat alur Broch berbeda secara radikal dalam hal genre: novel, cerita pendek, reportase, puisi dan essei. Penyatuan genre non novelistik itu ke dalam poliphoni  novel adalah inovasi revolusioner dari Broch.

C.S.: Tetapi Anda telah menyatakan empat alur tersebut tidak adequat, sama-sama terbatasi. Pada kenyataannya Hanna Wendling tak mngenal Esch, gadis bala keselamatan itu tak pernah mengerti jika Hanna Wendling eksis. Jadi tidak ada teknik yang dapat menyatakan empat alur yang terpilah dan tanpa titik temu itu.
M.K.: Mereka bersatu hanya oleh telah dasar. Namun bagi saya kesatuan tematik sudah sangat mencukupi. Masalah keterceraiberaian terletak ditempat lain. Untuk merekapitulasi: Dalam karya Broch, empat alur tersebut berkembang scara simultan, tanpa pertemuan, disatukan oleh satu atau beberapa tema. Saya telah menggambarkan pabila berbagai konstruksi dengan  sebuah term yang saya  pinjam dari istilah musik: poliphoni. Anda akan lihat jika bukanlah mengada-ada untuk membandingkan novel dengan musik. Memang, satu dari prinsip-prinsip fundamental daridari pengarang-pengaran poliphonik terbesar adalah equalitas suara: tak ada sebuah suara yang dominan, tak ada yang bertidak sekedar sebagai iringan. Kini, yang tampak sebagai kegagalan dalam novel ketiga The Sleepwalkers itu adalah ketidaksejajaran keempat suara tersebut. Alur pertama ( narasi novelistik mengenai Esch dan Huguenau) secara quantitatif mengambil ruang lebih dari pada tiga garis lainnya, dan bagian yang paling penting. Secara qualitatif dia juga mendominasi, sejauh ia dihubungkan dengan dua buku sebelumnya, lewat Esch dan Pasenow. Hal itu mengisyaratkan atensi yang lebih besar dan ancaman terhadap penurunan  empat alur lainnya pada sekedar iringan. Kedua; walau fuga Bach tak dapat dimainkan tanpa satu dari suara lainnya, kita tak dapat begitu saja membayangkan cerita pendek Hanna Welding atau essei tentagn disintegrasi nilai-nilai sebagai hal yang terpisah, teks yang beridiri sendiri karena penghapusannya akan membuat novel itu hilang makna. Menurut saya, kondisi sine qua non bagi lagu tambahan dalam novel adalah: pertama, equalitas dari berbagai alur, dan kedua, kesatuan yang tak terpisah. Saya teringat hari ketika saya menyelesaikan bagian ketiga The Book of Laughter and Forgetting, bagian yang disebut “Sang Malaikat”.   Saya akui saya begitu angkuh, yakin jika saya akan menemukan sebuah sebuah jalan baru  penyusunan narasi. Teks tersebut tersusun atas elemen-elemen: (1) anekdot mengenai 2 siswi dan levitasi mereka; (2) narasi otobigrafi; (3) essei yang mengkritik sebuah buku feminis; (4) Fabel perihal malaikat dan iblis; (5) natasi mengenai Eluard   yang terbang di atas Praha. Tak satupun dari elemen-elemen itu dapat eksis tanpa yang lain; mereka saling melingkupi dan menerangi seketika mereka menjelaskan satu tema: apakah malaikat? Pertanyaan itu merupakan satu hal yang menyentuh elemen-elemen tersebut secara bersama-sama. Bagian ke enam yang juga disebut “Sang Malaikat” tersusun dari: (1) narasi oneirik kematian Tamina (2) narasi otobiografis kematian ayah saya; (3) Refleksi mengenai musik; (4) refleksi tentang epidemi pelupaan yang merukan Praga. Apakah hubungan antara ayah saya dengan perlakuan siksaan Tamina pada tangan anak-anak tersebut? Meminjam frasa Lautremont, seorang pecinta Surealist, itulah perjumpaan masin jahit dan payung di atas meja operasi dari tema yang sama. Poliphoni dalam novel tersebut lebih sebagai puisi daripada teknik.

C.S.: Dalam “The Umbrella Lightness of Being”, lagu tambahan kurang tampak.

M.K.: Ada poliphonik yang amat jelas dalam bagian ke enam: cerita mengenai anak Stalin, meditasi teologis, kejadian-kejadian politis di Asia, kematian  Franz di Bangkok, dan pemakaman Tomas di Bohemia yang dihubungkan oleh pertanyaan dasar: Apakah Kitsch? Bagian poliphonik merupakan dasar dari keseluruhan struktur tersebut. Relasi dari keseimbangan arsitektural terletak di sana.

C.S.: Rahasia apakah itu?

M.K.: ada dua rahasia. Pertama: Keenam bagian itu tidak diletakkan sebagai sebuah cerita melainkan essei (essei tentang kitsch). Fragmen-fragmen kehidupan tokoh-tokohnya dan mengenai akibat dari hubungan antara Tomas dan anaknya. Paramasastra itu menerangi struktur secara dahsyat. Kedua, pemindahan kronologis: kejadian-kejadian di bagian ke enam terjadi setelah kejadian-kejadian di bagian ke tujuh dan terakhir. Disebabkan oleh dislokasi itu,  bagian terakhir, meskipun qualitasnya idillis, dibanjiri dengan melankoli yang datang dari pengetahuan kita akan apa yang terjadi.

C.S.: Saya ingin mengembalikan pada beberapa reservasi sebagaimana pada essei tentang disintegrasi nilai. Oleh karenanya ketukan apodiktiknya, bahasa teknisnya, Anda menyatakan, dapat dipandang sebagai kunci ideologis bagi novel tersebut, kebenarannya,mentransformasikan keseluruhan trilogi Sleepwalkers ke dalam sekedar ilustrasi noveldari satu ide dasar. Itulah mengapa Anda mendiskusikan kebutuhan akan essei novelistik yang spesifik.

M.K.: Pertama, satu hal adalah tertentu: Momen tersebut menjadi bagian dari sebuah novel, refleksi mengubah essensinya. Di luar novel kita ada dalam alam affirmasi: setiap orang yakin terhadap pernyataan-pernyataannya: politikus, filsuf, pelayan. Dalam dunia novel, bagaimanapun, tak seorangpun yakin: ia adalah alam permainan dan hipotesa. Dalam novel, selanjutnya, refleksi secara esensial mengandung pertanyaan, ia bersifat hipotesis.

M.K.: ada perbedaan fundamental antara cara filsuf–filsuf  dan pikiran novelis. Orang bicara tentang filsafat Chekov, atau Kafka atau Musil dan sebagainya. Tetapi hanya mencoba menggambarkan sebuah filsafat yang koheren di luar filsafat mereka! Bahkan ketika mereka mengkspresikan ide mereka secara langsung, dalam buku-buku catatan mereka, ide-ide itu adalah latihan  intelektual, permainan-permainan peradoks, improvisasi-improvisasi, daripada pernyataan pemikiran.

C.S.: Dalam Diary of a Writer Dostoyevsky  sepenuhnya bersifat affirmatif, pemikiran.

M.K.: Tetapi bukan tempat kita menemukan ide terbesarnya. Dia seorang pemikiran hebat hanya sebagai novelis. Yang ada untuk menyatakan bahwa dalam karakter-karakternya ia bisa menciptakan dunia intelektual yang luarbiasa kaya dan orisinal. Orang berusaha untuk menemukan  dalam karakter-karakternya sebuah proyeksi atas ide mereka—Shatov, contohnya. Akan tetapi Dostoyevsky melakukan kehebatannya utnuk berjaga-jaga melawan hal itu. Pertama kali Shatov muncul ia karakterkan begitu kejam: “Ia adalah salah seorang dari idealis Rusia yang secara tiba-tiba tersambar oleh ide yang sangat besar, begitu terpesona olehnya, begitu selalu. Mereka tak berusaha mengontrol ide tersebut, mereka mempercayainya dengan suatu harapan, dan eksistensi mereka secara keseluruhan sejak itu tidak ada apa-apa selain kesakitan yang menggeliat di bawah batu yang sebentar kemudian meremukan mereka.” Jadi, bahkan jika Dostoyevsky betul-betul memberi Shatov  ide-idenya sendiri, mereka segera menjadi relatif. Hukum itu juga berlaku bagi Dostoyevsky:  sekali, ia adalah bagian dari sebuah novel, refleksi merubah esensinya: pemikiran dogmatik menjadi hipotesis. Inilah sesuatu yang lepas dari para filsuf ketika mereka mencoba menulis novel. Dengan satu pengecualian—Diderot. Jacques le Fataliste-nya yang menakjubkan! Sekali ia menyeberangi garis batas novel, ahli-ahli eksiklopedi yang serius menjelma pemikir-pemikir nakal: tak ada satupun kalimat serius  dalam novelnya, seluruhnya main-main. Itulah mengapa sehingga novel secara memalukan dipandang rendah di Perancis. Akhirnya, buku tersebut melambangkan segala sesuatu yang oleh Perancis telah dilepaskan dan menoleh untuk menyelematkan. Hari-hari ini Perancis menyukai ide-ide tinimbang kerja. Dan tak ada jalan untuk menterjemahkan Jacques le Fataliste ke dalam bahasa ide tersebut.

C.S. : Di dalam The Joke, adalah Jaroslav yang menguraikan secara teliti sebuah teori musik. Sehingga dunia hipotesis dari refleksi tersebut tampak jelas. Tetapi terdapat bagian-bagian dalam novel anda di mana Anda sendiri berbicara secara langsung.

M.K.: Bahkan jika saya adalah orang yang berbicara, perenungan-perenungan saha berhubungan dengan sebuah karakter. Saya ingin memikirkan perilakunya, cara dia memandang sesuatu, dalam jasanya dan lebih dalam dari pada yang dapat dilakukannya sendiri.   Bagian Ke Dua dari Unbearable Lightness of Being dimulai dengan meditrasi yang panjand mengenai interelasi antara tubuh dan jiwa. Benar, itu adalah ucapan pengarang, tetapi segala sesuatu yang ia katakan hanya benar di dalam medan magnet sebuah karakter: Tereza. Itu adalah cara Tereza memandang benda-benda (pikiran yang tak pernah terformulasikan olehnya).

C.S.: Namun seringkali meditasi anda tak berhubungan dengan karakter lainnya: bagian yang musikologikal dari The Book Laughter and Forgetting, atau pikiran-pikiran Anda mengenai kematian anak Stalin dalam The Unberable Lightness of Being....

M.K.: Itu benar. Dari waktu ke waktu, sebagai pengarang, sebagai diri saya sendiri, saya suka intervensi secara langsung. Dalam kasus itu, nada bersifat krusial. Dari kata yang paling pertama, pikiran saya memiliki sebuah nada yang lucu, ironis, provokatif, eksperimental atau mengandung pertanyaan. Keseluruhan bagian ke enam The Unbearable Lightness of Being (“Mars Agung”) adalah sebuah eseei tetnang kitsch yang tesis utamanya adalah: “ Kitsch adalah penyangkalan absolut dari silit.” Seluruh bagian dari perenungan mengenai kitsch begitu vital bagi saya, di sana terdapat suatu hal yang sangat bagus mengenai refleksi, pengalaman, studi, bahkan keinginan besar dibaliknya., tetapi nada itu tak pernah serius; ia bersifat provokatif. Essei itu adalah hal-hal diluar novel yang tak dapat dipertimbangkan; itulah yang saya maksud dengan esseu novelisitik yang khusus.

C.S.: Anda telah berbeicara mengenai lagu tambahan novel sebagai kesatuan filsafat, narasi dan mimpi. Mari membahas mimpi. Narasi mimpi menyita seluruh bagian kedua Life is Elsewhere, yang merupakan basis bagian keenam The Book Laughter and Forgetting, dan berlanjut pada The Unberable Lightness of Being lewat mimpi-mimpi Tereza.

M.K.: Narasi mimpi; mari kita sebaut, kemudian: Imajinasi, yang bebas dari kontrol akal dan keterfokusan pada verisimilitude, perjalanan penuh bahaya ke dalam lanskap-lanskap yang tak tertundukan oleh pemikiran rasional. Mimpi hanyalah model dari sekumpulan imajinasi yang saya rasa penemuan terbesar seni mofern. Tetapi bagaimana dapat imajinasi yang tak terkontrol diintegrasikan ke dalam novel, yang oleh definisi dipandan sebuah examinasi eksistensi yang jelas? Bagaiman dapat elemen-elemen yang terserak itu di satukan? Itu memerlukan kimia! saya yakin, Novalislah yang pertama berpikir mengenai kimia ini. Ia menginterpolasikan tiga mimpi ked alam novel Heinrich von Ofterdingen. Tidak ada imitasi realistis mimpi, imitasi realistis dari hal-hal yang semacam yang kita temukan dalam Tolstoy atau Mann. Itu adalah potongan terbesar dari puisi yang terinspirasi oleh teknik imajinatif yang merupakan properti mimpi. Tetapi ia tidak puas. Tiga mimpi itu, ia rasakan menjadi seperti pulau-pulau di dalam novel. Oleh karena itu ia ingin melangkan lebih jauh dan menulis volume ke dua dari novel tersebut sebagai sebuah narasi yang di dalamnya mimpi dan realitas terkumpul bersama, bercampur baur sampai-sampai orang tak dapat membedakan satu sama lain. Namun ia tak pernah menulis bagian itu. Seluruh yang kita punya adal catatan-catatan yang menggambarkan proyek estetikanya, yang telah terealisasikan seratus dua puluh tahun yang lalau oleh Franz Kafka, dengan novel-novelnya yang tak meleburkan mimpi dan realitas. Novel-novel Kafka: yang tampak amat sangat  jelas membentuk dunia modern  bersama dengan imajinasi yang sangat bebas. Di atas semuanya, Kafka merepresentasikan revolusi estetika yang hebat. Sebuah keajaiban kerja seniman. Sebagai ontoh, ambillah bab yang luar bisa dari The Castle di mana K. bercinta dengan Frieda untuk pertama kalinya. Atau bab di mana ia  merubah ruang kelasnya menjadi kamar tidur bagi dirinya sendiri, Frieda, dan dua orang asisten. Sebelum Kafka kekentalan imajinasi seperti itu takpernah terpikirkan. Tentu hal itu membuat orang jaran menirunya. Akan tetapi sebagaimana Kafka (juga Novalis), saya merasa jika hasrat yang sama untuk memasukan mimpi—imajinasi mimpi—ke dalam novel. Untuk mencapainya, saya sendiri tak menyatukan mimpi dan relitas, tetapi dengan konfrontasi poliphonik. Narasi mimpi adalah satu dari elemen-elemen lagu tambahan.

C.S.: Kembali kepada pertanyaan mengenai kesatuan dalam sebuah komposisi. Anda telah menggambarkan The Book of Laughter and Forgetting sebagai sebuah novel dalam berbagai bentuk. Lalu apakah dengan demikian ia tetap sebuah novel?

M.K.: Apa yang tertangkap  dari hal seperti itu adalah tidak ada kesatuan aksi. Sangat sulit mengimajinasikan sebuah novel tanpa kesatuan tersebut. Bahkan eksperimen-eksperimen “noveau rman” (roman baru)  yang bersandar pada satu kesatuan aksi (atau inaksi). Sterne dan Diderot mendapatkan kegembiraan dari penciptaan kesatuan yang secara ekstrim mudah pecah itu. Perjalnan Jacques dengan Tuannya menhiasi bagian yang lebih kecil dari novel Diderot: ia cuman helatan komik, sebuah kotak berisi pameran anekdot-anekdot, cerita, renungan. Meski demikian, helatan, atau kotak  ini, dibutuhkan untuk memberikan pada buku tersebut, rasa sebuah novel, atau paling tidak parodi  sebuah novel. Bagaimanapun saya percaya ada sesuatu yang lebih dalam yang menjamin koherensi novel: kesatuan tematik. Dan omong-omong, hal ini selalu benar. Tiga laur narasi The Posessedtersatukan oleh teknik penceritaan, itu betul , namun di atas semua itu adalah oleh tema dasarnyanya.: Iblis yang meletakan nafsu manusia ketika ia kehilangna Tuhan. Pada setiap alur narasi tersebut, tema ini dipandangan dari sudut yang berbeda, seperti pantulan satu benda dalam tiga cermin. Dan bendanya ini (benda abstrak yang saya sebut tema) yang menjadikan novel sebagaimana kebulatan koherensi internal, sesuatu yang tak begitu tampak tetapi  merupakan hal paling penting.Pada The Book of Laughter and Forgetting, koherensi dari kepenuhan itu tercipta semata-mata oleh kesatuan tema-tema atau motif-motif, yang dibangun dengan berbagai variasi. Apakah itu adalah sebuah novel? Menurut hemat saya, ya. Novel adalah meditasi mengenai eksistensi sebagaimana  yang tampak melalaui media karakter-karakter imajiner.

C.S.: Dengan keluasana definisi itu, kita bahkan dapat sembut The Decameron sebuah novel! Semua kisah-kisahnya dihubungakan oleh tema yang sama mengenai cinta dan dinyatakan oleh sepuluh pencerita yang sama...

M.K.: Saya tidak akan begitu provokatif dangan menyebut The Decameron sebagai sebuah novel. Buku itu masihlah salah satu usaha pertama dalam Eropa modern untuk menciptakan skala besar penulisan prosa naratif dan paling tidak ia memiliki sebuah ruang dalam sejarah novel sebagai sumber akar dan pelopornya. Anda tahu, novel tersebut menduduki sudut sejarah yang telah ia ambil. Ia dapat mengambilnya secara mudah hanya karena ia benar-benar hal yang berbeda. Bentuk novel itu betul-betul bebas. Sepanjang sejarahnya, novel tersebut tak pernah mengambil banyak keuntungan  dari hal itu . Ia hilang lenyap di atas kebebasan itu. Ia pergi tanpa mengeksplorasi berbagai kemungkinan bentuk.
C.S.: Tetapi tetap saja, kecuali  The Book of Laughter and Forgetting, novel Anda sendiri, tidak berlandaskan atas kesatuan aksi, atau suatu jenis yang lebih bebas.

M.K.: Saya selalu menyusunnya dalam dua tingkatan: pada tingkat pertama, saya menyusun ceritanya; sementara itu, saya juga membangun temanya. Tema tersusun di dalam dan oleh cerita. Kapanpun sebuah novel menolak dan  menerima temanya hanya karena penkisahaan cerita, ia menjadi datar. Sebuah tema, di sisi lain, dapat dibangun atas dirinya sendiri, di luar cerita. Pendekatan kepada tema itu saya sebut digresi (pelanturan). Pelanturan artinya: meninggalkan cerita utnuk sesaat. Segala perenungan mengenai kitsch dalam The Unbearable Lightness of Being, misalnya, adalah sebuah pelanturan: saya meninggalkan pengkisahan cerita novel tersebut dan beralih langsung ke tema. Berpikir dari sudut pandang itu, pelanturan mempertinggi disiplin dari komposisi tersebut daripada melemahkannya. Saya memilah antara tema dan motif. Motif adlah satu elemen dari tema atau cerita yang muncul beberapa kali di atas rangkaian novel, selalu dalam konteks yang berbeda. Sebagai contoh, motif quartet Beethoven yang berpindah dari kehidupan Tereza ke pemikiran-pemikiran Thomas dan berlari melintasi berbagai tema, seperti: tema yang berat, kitsch; atau motif topi boling Sabina, ynag muncul dalam adegan-adegan Sabina/Tomas, Sabina/Tereza, dan Sabina/Franz, dan yang juga mengilustrasikan tema “kata-kata yang disalahtafsirkan ” itu.

C.S.:  Apa yang sebenarnya Anda maksudkan dengan kata tema?

M.K.: Sebuah tema adalah pencarian eksitensial. Dan lebih lagi saya  menyadari jika pencarian seperti itu, pada akhirnya, adalah mengenai pemilihan kata, kata tema. Yang mendorong saya untuk menegaskan: Sebuah novel secara primer didasarkan atas kata dasar tertentu. Ini seperti bunyi irama dayung Schoenberg, Dalam The Book of Laughter and Forgetting, irama dayung tersebut adalah: pelupaan, gelak tawa, malaikat-malaikat, litost, dan batas-batasan. Di lintas wacana novel tersebut, empat kata prinsip itu dianalisa, dipelajari, didefinisikan dan diredefinisikan, dan selanjutnya ditransformasikan ke dalam kategori-kategori ekstensi. Novel  tersebut di bangun di atas kategori-kategori itu serupa rumah didirikan di atas pilar-pilarnya.  Pilar-pilar The Unbearable Lightness of Being, adalah: berat, ringan, jiwa, tubuh, Mars yang Megah, silit, kitsch, keharuan, vertigo, kekuatan, kelemahan.

C.S.: Mari berbincang mengenai maksud arsitektonik dalam novel Anda. Seluruh novel Anda terbagai ke dalam tujuh bagian, hanya satu yang tidak.

M.K.: Ketika saya menyelesaiakn The Joke, saya tak memiliki alasan untuk terkejut karena ia terdiri dari tuju bagian. Kemmudian saya menulis Life is Elsewhere. Buku yang baru saja selesai dikerjakan, dan ia memiliki enam bagian. Saya tidak kecewa dengan hal itu. Ceritanya tampak terasa datar. Tiba-tiba ia mengingatkan saya untuk memasukan sebuah cerita berlatarbelakang tiga tahun setelah kematian sang pahlawan (yang diluar frame waktu novel tersebut). Ia menjadi masa depan bagi bagian terakhir, bagian ke enam, “The Middle Aged Man”. Secara instan seluruhnya tampak baik. Sebentar kemudian saya menyadari bahwa bagain keenam itu adalah parallel yang aneh dari Bagian Keenam The Joke(“Kostka”), yang juga mengajukan pribadi luar ke dalam novel, membukan jendela rahasia di dinding novel. Laughable Loves pertama kali sebagai sepuluh cerita. Ketika saya menyelesaikan bentuk akhir, saya mengeliminasi tiga cerita, dan ia menjadi sangat koheren, yang sedikit banyak dipengaruhi oleh The Book of Laughter and Forgetting: tema yang sama (terutama olok-olokannya) membuat sebuah entitas tunggal di luar tuju narasi, bagian keempat dan enam dari yang untuk seterusnya dihubungkan oleh keberadaan protagonis yang sama, Doctor Havel. Dalam The Book ofLaughter and Forgetting, juga, baigan keempat dan enam dihubungkan oleh karakter yang sama: Tamina. Ketika saya menulisThe Unbearable Lightness od Being, saya terpaksa mematahkan pesona dari bagaian ketuju. Novel tersebut tersusun menjadi enam bagian struktur. Namun yang pertama masih terlihat tak berbbentuk. Akhirnya saya insyaf jika sebenarnya ia adalah dua bagian, yang seperti si kembar Siamese yang musti dipisahkan dengan pembedahan absolut. Maksud saya adalah bahwa struktur ketuju bagian itu tidaklah menyajikan asyiknya khayalan dengan angka-angka sakti, atau kalkulasi rasional lainnya, tetapi sebuah kedalaman, ketaksadaran, dorongan-dorongan tak terpahami, arketipe dari sebuah bentuk yang tak dapat kita hapus. Novel saya adalah variasi-varisasi arsitektur berdasarkan angka tujuh.

C.S.: Seberapa jauh sistem matematis ini berjalan?

M.K.: The Joke, misalnya. Novel itu dikisahkan dengan empat tokoh: Ludvik, Jaroslav, Kostka, dan Helena. Monolog Ludvik menghabiskan 2/3 buku; monolog dari tiga tokoh lainnya 1/3 buku (Jaroslav 1/6, Kostka 1/9, Helena 1/18). Struktur matematis itu mendeterminasikan yang saya sebut the lighting of the characters. Ludvik berdiri dengan cahaya penuh, teriluminasi dari dalam (oleh monolognya sendiri) dan luar (monolog lainnya yang menggoreskan potretnya). Jaroslav mengisi bagian ke enam buku tersebut dengan monolognya, dan potretnya sendiri dikoreksi dari luar oleh monolog Ludvik. Dan sebagainya. Setiap karakter disorot dengan intensitas dan sudut yang berbeda. Lucie, salah satu tokoh terpenting, tak memiliki monolognya sendiri. Ia disorot hanya dari luar oleh Ludvik dan Kostka. Tidak adanya sorotan dari dalam menjadikannya sebuah misteri, suatu kualitas yang tak terpahami. Ia berdiri, dan berbicara dari balik kaca; ia tak tersentuh.

C.S.: Apakah struktur matematis itu dipersiapkan terlebih dahulu?
M.K.: Tidak. Saya menemukan semuat itu setelah The Joke diterbitkan di Praha., dalam sebuah artikel oleh Seorang kritikus sastra Ceko:”The Geometry of The Joke.” Sebuah pemahaman muncul. Dengan kata lain, sistem matematis itu benar-benar menyatu sebagai bentuk yang pasti tanpa pertimbangan lainnya.

C.S.: Apakah itu di mana keterpesonaan Anda pada figur berasal? Pada setiap orang dalam novel Anda, bagian dan Bab-bab berangka.

M.K.: Pembagian novel ke dalam bagian-bagian, bagian ke dalam bab-baba, bab ke dalam paragrap-paragrap—suara buku itu—saya menginginkannya menjadi amat jelas. Masing-masing dari tujuh bagian itu dengan sendirinya komplit. Masing-masing dicirikan oleh model narasinya sendiri: contohnya,Life is Elsewhere: Bagian Pertama: narasi berkesinambungan (yaitu dengan hubungan kausal antar bab-babnya).; Bagian Dua: narasi mimpi; Bagian Tiga: narasi tak berkesinambungan ( yaitu narasi yang tanpa hubungan kausal antar bab); Bagian Empat: narasi poliphoni; Bagian Lima: narasi berkesinambungan; Bagian Enam: narasi berkesinambungan; Bgian Tujuh: narasi polophonik. Masing-masing memiliki perspektifnya sendiri-sendiri (ia dinyatakan dari sudut pandang citra diri yang berbeda-beda). Masing-masing memiliki potongannya; rangkaian potongan-potongan dalam The Joke: sangat pendek; sangat pendek; panjang; pendek; panjang; pendek; panjang.  Pada Life is Elsewhere, hal itu terbalik: panjang; pendek;panjang; pendek; panjang; sangat pendek; sangat pendek. Saya juga menginginkan setiap babnya menjadi sesuatu yang mungil, entitas yang terisi sendiri. Inilah mengapa saya mendesak penerbit saya membuat angka-angka itu menonjol dan men memisahkan bab-bab secara tajam. (Solusi Galimard’s sangan bagus: setiap bab dimulai dengan halaman yang segar). Kembali pada perbandingan antara novel dan musik. Suatu bagain adalah suatu perpindahan. Bab-bab itu adalah langkah. Langkah itu bisa pendek atau panjang, atau variabel terkecil dalam jarak. Yang membawa kita pada persoalan tempo. Setiap bagian dalam novel-novel saya mengindikasikan suatu musik: moderato, presto, adagio, dan sebagainya.

C.S.: Jadi tempo ditentukan oleh relasi antara potongan dari suatu bagain dan angka yang mengisi bab-bab?

M.K.: Lihatlah Life is Elsewhere dari sudut pandang itu:

Bagian Pertama: 11 bab dalam 59 halaman; moderato
Bagian Dua: 14 bab dalam 24 halaman; allegretto
Bagian Tiga: 28 bab dalam 65 halaman; allegro
Bagian Empat: 11 bab dalam 81 halaman; moderato
Bagian Enam: 17 bab dalam 17 halaman; adagio
Bagian Tujuh: 23 bab dalam 18 halaman; presto

Anda lihat: Bagian Lima memiliki 81 halaman dan hanya 11 bab; pelan dan damai. Bagian Empat memiliki 25 bab dalam 20 halaman! Memberikan suasana bertempo tinggi: prestissimo.

C.S.: Bagian Enam terdiri dari 17 bab dalam 17 halaman. Jika pemahaman saya benar, itu berarti ia memilki tempo yang agak cepat. Yang kemudian Anda sebut adagio!

M.K.: Karena kemudian tempo itu dideterminasikan oleh sesutu yang lain: hubungan antara jarak dri suatu bagian dan waktu “real” dari kejadian-kejadian yang digambarkannya. Bagian Lima, “The Poet Is Jealous”, merepresentasikan seluruh masa kehidupan, sedang Bagian Enam, “The Middle Aged Man,” menghadapi hanya beberapa jam. Di sini keringkasan bab itu berfungsi untuk melambatkan waktu, untuk mengfixkan sebuah moment besar tunggal.... Tempo-tempo yang kontras sangatlah penting bagi saya. Mereka seringkali memasukan dalam ide saya yang paling awal mengenai sebuah novel, jauh sebelum saya menulisnya. Bagian ke enam Life Is Elsewhereadagio ( suasana hati yang dama dan haru), diikuti oleh Bagian Tuju, presto (gelisah, kasar). Saya ingin akhir yang berlawanan itu untuk memfokuskan seluruh kekuatan emosional dari novel tersebut. Sebenarnya, pengoposisian itu berhubungan dengan The Unbearable Lightness of Being. Di sana, dari saat penulisan dimulai, saya tahu bahwa bagian terakhir akan bersifat pianissimo dan adagio (“Senyum Karenina”: yang kalem, melankolis, dan jarang) dan itu didahului oleh bagian ynag berirama fortissimoprestissimo (“The Grand March”: sebuah kekasaran, olok-olok, dan penuh peristiwa).

C.S.:  Jadi naiknya tempo juga mengakibatkan kenaikan atmosfer emosi.

M.K.: Pelajaran penting lainnya dari musik; suka atau tidak, setiap bagian sebuah komposisi musik membawakan ekspresi emosional. Jalinan irama dalam sebuah simponi atau sonata selalu ditentukan secara umum oleh hukum tak tertulis pergantian antara pelan dan cepat, yang secara otomatis selalu berarti sedih atau gembira. Kekontrasan emosi-emosi itu lantas menjadi stereotipe opresif , hanya kampiun-kampiun saja yang mampu melakukannya (itupun tidak selalu berhasil). Contoh yang paling terkenal yang juga sangat saya kagumi adalah sonata Chopin yang tiga iramanya merupakan mars penguburan. adakah lagi yang dapat dinyatakan setelah salam perpisahan yang dahsyat itu? Menutup sonata dengan cara yang begitu biasa lewat rondo yang hidup? Bahkan Beethoven dalam Sonata Opus 26 nya tak menghindari stereotipe tersebut—ia melanjutkan sebuah mars terakhir (juga dalam tiga irama) dengan riang. Akan tetapi irama ke empat dalam sonata Chopin seluruhnya asing:pianissimo, cepat dan pendek, tanpa melodi, dan benar-benar tanpa perasaan apa-apa: pancaran yang terpenggal-penggal, suara yang tersaring, sehingga membentuk pelupaan yang tak terbatas. Penjajaran dua irama (yang sentimentil dan tidak) membuat kita megap-megap. Sungguh-sungguh orisinil. Saya ajukan hal ini untuk menunjukan bahwa mengaran sebuah novel adalah menyusun ruang-ruang emosional yang berbeda, keping demi keping—dan itu, bagi saya merupakan hasta karya penulis yang paling subtil.

C.S.: Bagaimanakah tepatnya sehingga latihan musik mempengaruhi tulisan Anda.

M.K.: Dari umur dua puluh lima tahun ke atas, saya sangat tertarik dengan musik daripada sastra. Hal yang terbaik yang saya lakukan pada masa itu adalah sebuah komposisi  untuk empat instrument: piano, biola, klarinet dan perkusi. Itu adalah peninjauan paling karikatural terhadap bangunan novel-novel saya, yang eksistensi masa depannya tak sedikitpun terpikirkan ketika itu. Komposisi untuk empat instrumen itu terbagi dalam tujuh bagian, bayangkan! Sebagaimana juga dalam novel-novel saya, potongan-potongan tersebut terdiri  dari bagian-bagian yang sangat heterogen bentuknya ( jazz; parodi waltz; fuga; chorale; dan lain-lain), masing-masing dengan instrumentasi yang berbeda (piano dan biola; solo piano; biola; klarinet dan perkusi; dan sebagainya). Perbedaan bentuk itu diimbangi oleh kesatuan tema yang sangat elaboratif. Tiga bagian akhir didasarkan pada sejenis poliphoni yang saya kira begitu orisinil ketika itu. Pembangunan tema yang lain dan yang secara emosional secara bersama-sama  kontradiktif. Sebagai contoh, bagian akhir sebuah rekaman mengulang tiga irama (tema A dibikin sebuah nyanyian paduan suara yang khidmat dengan klarinet, biola dan piano) Pada saat yang sama sebuah variasi (bergaya “barbaro”) dari tema B ditampilkan dengan perkusi dan terompet (yang dimainkan oleh pemain klarinet). Dan pararel lainnya: pada bagian ke enam, sebuah tema baru, C, muncul benar-benar hanya sebagaimana Kostka lakukan dalam The Joke, atau manusia abad pertengahan dalam Life Is Elsewhere. Maksud saya, sekali lagi adalah bahwa bentuk sebuah novel, struktur matematisnya bukanlah satu hal yang terkalkulasi; ia adalah sebuah dorongan tak sadar, suatu obsesi. Saya dulu bahkan berpikir juka bentuk yang mengobsesi saya merupakan sekumpulan definisi aljabar kepribadian saya sendiri, namun suatu hari beberapa tahun yang lalu ketika saya sedang mempelajari Quartet Opus 131 Beethoven, saya menghentikan konsepsi bentuk yang narsisitik dan subyektif itu. Perhatikanlah:

            Irama pertama: pelan; bentuk fuga; kuran lebih 7: 30 menit
            Irama ke dua: cepat; betuk tak terklasifikasi; 3: 30 menit
Irama ke tiga: pelan; eksposisi tema tunggal; 1: 00 menit
Irama ke empat: sangat lembut; tema dan varian-varian; 14: 00 menit
Irama  ke lima: samgat cepat; scherzo; 5: 30 menit
Irama ke enam: sangat lambat; eksposisi dari tema tunggal; 2:30 menit
Irama ke tujuh: cepat; bentuk sonata; 6: 30 menit

Beethoven barangkali adalah arsitek nomer wahid post musik Bach. Ia mewariskan susunan sonata putaran tiga atau empat irama, seringkali pada sequen yang lebih acak, bagian pertama (yang ditulis dalam bentuk sonata) selalu lebih penting daripada irama selanjutnya (yang ditulis dalam bentuk rondo, minuet, dan sebagainya). Evolusi artistik Beethoven secara keseluruhan ditandai oleh ketentuan mentransformasikan tiga assembel dalam satu kesatuan utuh. Selanjutnya, dalam sonota-sonata pianonya, ia secara gradual menaikan pusat gravitasi dari yang pertama ke irama terakhir; ia selalu mereduksi sonata tersebut menjadi hanya dua bagian (terkadang disenggat dengan irama interlude, seperti dalam Opus 27 No. 2 dan Opus 53, dan secara penjajaran langsung sebagaimana dalam Opus III); ia memanfaatkan  tema-tema yagn sama dalam irama-irama yang berbeda, dan seterusnya. Tetapi pada saat yang sama ia juga mencoba memberikan bentuk-bentuk yang berbeda secara maximum pada kesatuan itu. Beberapakali   ia memasukan  fuga dalam skala yang besar pada sonata-soanatnya—irama yang sangat kental sebagab fuga di tengah-tengah sonata pasti tampak asing sebagaimana essei tentang disintegrasi nilai-nilai di tengah-tengah novel Broch. Quartet Opus 131 adalah puncak kesempurnaan arsitektur. Saya ingin menyebut atensi Anda terhadap satu detil yang telah kita diskusikan: varietas potongan-potongan. Irama ketiga lebih pendek 14 kali daripada bagian selanjutnya! Dan justru ia merupakan 2 irama pendek yang aneh (bafian ke tiga dan empat) yagn menghubungkan dan membuat ketujuh bagian itu bagian yang sangat berbeda-beda! Jika seluruh bagian itu adalah mengenai potongan yang sama, kesataun tersebut justru akan terpecah! Mengapa? Saya tak dapat menjelaskannya. Namun itulah. Ketujuh bagian potongan yang sama itu akan seeprti lemari yang sangat besar yang tersusun bagain demi bagain. Dalam hal ini, contoh lainnya adlah: rekaman pertama yang pernah saya punyai, yaitu Concerto empat piano J.S. Bach, transkripsi dari sebuah karya Vivaldi. Saya baru menginjak umur sepuluh tahaun, dan terkagum-kagum dengan irama largo yang kedua itu. Apakah yang luar biasa dari irama itu? Ia memiliki bentuk A-B-A. Tema A: sebuah dialog sederhana antara piano dan orkestra—dalam ingatan saya 70 detik. Tema B: Empat piano tanpa orkestra, tanpa melodi, jalinan sederhana chord-chord, lapisan air yang diam—105 detik. Kemudian, balasan untuk tema A, hanya satu atau dua bar—10 detik! Andaikan tema A diulang kembali secara penuh: 70 detik: 105 detik: 70 detik ia akan menjadi simentri yang membosankan. Simetri skema A-B-A itu benar-benar membutuhkan penetralan potongan-potongan yang asimetri secara radikal. Lalu apa yang menakjubkan saya, sebagai seorang kanak-kanan, di dalam largo itu tersimpan proporsi yang cantik. Keindahan matematis. 70: 105: 10; yang artinya 10x7: 15x7: 10x7¸7; sama dengan 2: 3: 2¸7. Hanya itu.

C.S.: Anda telah mengatakan  hanmpir tidak apapun mengenai The Farewell Party.

M.K.: Dalam hal-hal tertentu ia adalah novel yang paling saya sayangi. Sebagaimana denganLaughable Loves, saya merasa lebih gembira, lebih menikmati ketika menulisnya daripada novel lainnya. Dalam bangunan jiwa yang lain. Ia juga berlalu sangat cepat juga.

C.S.: Ia hanya terdiri dari empat bagian.

M.K.: Ia didirikan sebuah bentuk yang secara penuh berbeda dari novel-novel saya lainnya.  Ia secara absolut homogen, tanpa disgresi atau penyimpangan-penyimpangan, satu permasalahan,  diceritakan pada tempo yang sama, sangat teatrikal, terstilisasi, strukturnya diambil dari lawakan. DalamLaughable Loves terdapat cerita  berjudul “The Symposium,” sebuah allusi parodi terhadap dialog Plato. Diskusi panjang mengenai cinta. Kini, bagian itu dikonstruksi seperti The Farewell Party: sebuah lawakan dalam lima terjangan.

C.S.: Apakah arti kata “lawakan” bagi Anda?

M.K.: Sebuah bentuk yang memberikan tekanan besar pada plot dengan mesin ketakterdugaan dan kebetulan yang berlebihan. Labiche. Tidak ada yang begitu meragukan dalam sebuah novel kini—begitu edan, ketinggalan jaman, citarasa yang sangat rendah—sebagai plot, dengan kekonyolannya yang keterlaluan. Sejak Flaubert, novelis telah mencoba menghilangkan perlengkapan plot novel, yang mengakibatkan novel seringkali lebih majal dari kehidupan yang paling majal. Novelis-novelis awal tak memiliki kecemasan akan lengkara. Pada buku pertama Don Quixote, terdapat sebuah kedai minum di Spanyol pertengahan dimana setiap orang oleh kejadian yang murni suatu kebetulan bertandang: Don Quixote, Sancho Panza, teman-teman mereka si tukang cukur dan pendeta,  Cardenio, seorang muda yang tunanganyannya Lucinda dibawa lari  oleh seorang DonFernando, disusul Dorotea, tunangan Don Fernando yang telah ditinggalkan, dan kemudian Don Fernando sendiri bersama Lucinda, selanjutnya seorang pegawai yang keluar dari penjara Moorish, lantas saudaranya yang bertahun-tahun mencarinya, kemudian lagi anak perempuannya yang bernama Claire, dan kekasih Claire yang mengejarnya, ia sendiri dikejar oleh orang suruhan ayahnya.......sekumpulan pertemuan dan kebetulan-kebetulan yang mustahil. Tetapi salah jika melihatnya sbagai kenaifan atau kejanggalan dalam karya Cervantes. Pada masa itu, novel-novel dan pembaca belum lagi meneken pakta yang sesungguhnya. Mereka tidak menyajikan simulasi realitas: mereka berusaha untuk memikat, mencengangkan, membuat takjub dan aneh. Mereka penuh permainan, dan di sana tampaklah keahlian mereka. Permulaan abad sembilan belas merepresentasikan perubahan besar dalam sejarah novel. Saya hampir tertawa terbahak-bahak. Bentuk imitasi kenyataan dengan cepat membuat kedai minuman Cervantes terasa lucu. Abad dua puluh seringkali  memberontak terhadap warisan abad sembilan belas. Meskipun demikian untuk kembali ke kedai minuman Cervantean tak lagi mungkin.  Pengalaman realisme abad sembilan belas  berdiri di antaranya dan kita memastikan bahwa permainan kebetulan-kebetulan yang mustahil itu tak dapat lagi menjadi inosen. Ia benar-benar menjadi bahan ejekan, ironis, parodis (Lafcadios Adventures atau Ferdyduke, contohnya), atau hal fantastik lainnya, impian. Yang seperti itu bersentuhan dengan novel pertama Kafka, Amerika. Bacalah bab pertama, pertemuan yang benar-benar muskil antara Karl Rossman dan pamannya: hal itu tampak seperti nostalgia terhadap kedai Cervante. Kemudian dalam novle itu keadaan yang tidak mungkin (bahkan mustahil) tersebut digambarkan secara detail, dengan sebuah ilusi mengenai  realitas, yang kita rasakan sebagai jika kita melangkah ke dalam dunia yang lebih riil dari pada realitas. Mari kita ingat: Kafka beranjak kepada alam sur-real pertama ini  (penyatuan realitas dan mimpinya yang pertama) dengan jalan kedai Cervantes, melewati pintu lawakan.

C.S.: kata “lawakan” memberikan pengertian entertainmen

M.K.: Novel Eropa yang terbesar dimulai sebagai enterteinmen, dan semua novelis yang sesungguhnya merindukannya!  Lagi pula, entertainmen bukan berarti tidak serus. The Farewell Partymempertanyakan: Apakah manusia pantas hidup di bumi ini, akankah “planet ini bebas dari genggaman manusia”? menyajikan daya tarik yang alang kepalang dari pertanyaan tersebut dan  bentuk yang sangat ringan selalu menjadi ambisi saya. Dan hal itu bukan semata-mata ambisi artistik. Penyatuan bentuk-bentuk tak beraturan dan sebuah subyek yang serius membuat jelas drama-drama kita (baik yang kita mainkan di atas ranjang ataupun panggung sejarah) dalam semua keremehtemehannya yang dahsayat.

C.S.: Jadi ada dua bentuk arketipe dalam novel Anda.: (1) kompoisisi poliphonik yang menyajikan elemen-elemen heterogen secara bersamaan dalam bangunan yang berlandaskan angka tujuh; (2) jenaka, homogen, komposisi teatrikal yang hampir-hampir mustahil.

M.K.: Saya terus menerus memimpikan ketidaksetiaan yang tak diharapkan. Tetapi sejauh saya tidak berusaha untuk meloloskan perkawinan saya dengan dua bentuk itu.

s e t t i ng

Tak jarang, saat membaca sebuah novel, elemen-elemen pendukung yang semestinya bisa membuat performa novel tampil lebih baik justru berefek sebaliknya, salah satunya dalam hal setting, atau latar cerita. Baik itu terkait setting waktu, tempat mau pun situasi sosial-kultural. Ada beberapa hal yang membuat deskripsi setting justru terasa mengganggu proses membaca, antara lain, sbb :

  1. Setting cut ‘n’ glue
“It seems you just take an info from some place and put it into your story”.
Ini salah satu kritik yang pernah di-inbox temen saya untuk salah satu novel saya, (nggak sok-sokan pake english, tapi emang inbox die pake bahasa english) dan saya sangat thanksful dengan kritiknya, karena itu jadi pemicu saya untuk berbenah dalam hal penggalian setting.
Cut ‘n’ glue mengacu pada tindakan serupa kritik temen saya itu, kita menyalin dari satu sumber dan meletakkannya di dalam tulisan kita tanpa banyak pertimbangan apalagi riset yang menyeluruh terhadap setting tsb. Bagi pembaca yang nggak terlalu fokus soal setting, hal ini mungkin nggak akan terlalu masalah, tapi di mata pembaca yang jeli, hal ini bisa terlihat seperti tambal sulam yang nggak rapi dan ngejahitnya asal-asalan.
  1. Setting yang “kasar”
Pernah nemu nggak, deskripsi setting pada sebuah novel yang saat membacanya seolah-olah kita sedang membaca non fiksi? Ini mungkin disebabkan saat nulisnya, si penulis nggak mempertimbangkan harmonisasi antara tutur fiksi dengan info yang dia ambil untuk dimasukkan ke dalam tulisannya, padahal, untuk bisa tampil smooth, apa pun info setting yang diserap, harus bisa tampil nyaris tak kelihatan, dan menyatu dengan baik dengan ceritanya.

Satu contoh novel untuk setting yang menyatu dengan baik ini, menurut saya adalah KADSAM karya TL. Di situ penulisnya – menurut saya – berhasil mengolaborasikan dengan sangat baik hal2 tentang setting dengan cerita yang dia bangun, nggak hanya setting tempat tetapi juga setting sosio-kulturnya, sehingga pembaca merasa seolah-olah benar2 berada di tempat kejadian.

  1. Setting yang berjejal
Wah, sebagai pembaca, saya paling sakit hati kalo baca novel yang settingnya berjejal. Mau tahu yang kaya’ gimana? Antara lain, novel yang dalam sebagian besar lembarnya selalu aja terdapat kosakata bahasa or nama asing dari tempat yang dijadiin setting, baik itu yang terdapat dalam narasi maupun dialog, walaupun udah disertai footnote, tetap aja saya sakit hati, karena mata saya harus pindah2 baca dari atas ke bawah. Kalo boleh ngasih saran ama yang nulis, mbok ya selama kosakata itu punya padanan katanya dalam bahasa kita, ya nggak perlulah ditulis dalam bahasa aslinya, kecuali kalo nggak ada, ya silahkan aja. Atau kalau pun mau ditulis, ya jangan sampai over lah.

Banyaknya jejalan kosakata asing dalam novel, percaya deh, nggak bakal bikin kamu terlihat benar-benar tahu, justru kelihatannya malah sok tahu (maaf) dan bikin pembaca yang nggak tahu jadi rada sebel. Untuk pembaca yang tahu, karena emang tinggal di tempat yang dijadiin setting misalnya, justru penulis harus ekstra hati2, karena tak jarang, info2 yang berseliweran di internet belum tentu sama dengan realitanya.
2. Setting yang kurang imajinatif
    Ini berlaku untuk novel fanfic. Kalau untuk genre ini, memang dituntut kemampuan maksimal untuk bisa mendeskripsikan setting yang sangat “ngayal” sehingga bisa membawa pembacanya ke dunia lain, dunia yang nggak pernah mereka lihat dan alami. Semakin tinggi nghayalnya, semakin berhasil memengaruhi pembaca, semakin baiklah nilai sebuah fanfic.
    3. Setting yang minim
      Yang biasa maen di GRI, mungkin pernah ngebaca salah satu kritik pembaca untuk novel IT yang ngambil setting London, “koq nggak kerasa suasana London-nya? dan karena tokohnya orang Korea malah lebih kerasa Korea-nya.”

      Untuk bisa mendapatkan setting yang benar-benar pas dengan kondisi real-nya tanpa penulisnya pernah pergi kesana, memang tidak mudah. Penulis nggak hanya cukup dengan mencari dan mengumpulkan riset, tetapi juga minimal pernah menyaksikan gambar atau film yang mengambil setting di tempat tersebut, mengetahui gambaran umum kondisi sosial kultur masyarakatnya agar dalam penggambarannya, walau nggak pas2 amat, setidaknya masih nyambung dan enak untuk dinikmati.
      Novel A karya WE cukup mewakili untuk setting Jepang yang bisa tampil maksimal dan natural, meskipun bagi pembaca yang tahu, ada beberapa bagian yang kurang pas dengan situasi sebenarnya, ini masih terselamatkan dengan kemampuan WE menuturkan ceritanya yang lembut romantis dengan dukungan deskripsi setting yang baik.

      Lalu, riset setting yang baik itu yang seperti apa?

      Di bawah ini ada beberapa contoh usaha yang dilakuin penulis saat meriset settingnya  agar bisa maksimal :
      1. E.S. I membeli dokumen asli dari pemerintah Belanda seharga jutaan rupiah untuk mendukung novelnya RM. (sumber info : majalah Annida, lupa tahun berapa)
      2. Sonia Nazario Penulis The Enrique Journey (yang ini gak pake initial, kaya’nya nggak banyak yang tahu) melakukan perjalanan berbahaya melintasi perbatasan memasuki AS bahkan sampai pernah nyaris dibunuh dan diperkosa untuk dapat melakukan riset jurnalistik untuk novel tsb. Novel ini diganjar dengan penghargaan Pulitzer.
      3. D pernah menyetrum dirinya sendiri untuk merasakan efek kejutan listrik saat menulis novel S untuk serial E.
      4. AH mengisi tabung bensin motornya hanya separoh sebelum masuk hutan, karena ingin merasakan sensasi rasa takut berada di tengah hutan dengan bensin yang minim saat membuat salah satu tetraloginya.
      5. Yang ini pasti udah pada tahu, SWS sampe mengumpulkan dan mengamati puluhan pose orang utan saat melakukan riset tindak-tanduk orang utan untuk novel duetnya P : AMFB!

      Agak gila-gilaan emang ya? Yah, untuk bisa maksimal emang butuh pengorbanan, bagi yang ngerasa belum sanggup, lakukan sesanggupnya sajalah, yang penting kuasai tehnik penulisan yang baik, sehingga pengetahuan yang minim akan setting pun tak sampai mengurangi kenikmatan pembaca saat membaca bukunya, dan iringi dengan niat yang baik saat menulis, insya Allah hasilnya juga akan baik.

      sumber : ria